JAPAN

Tokyo : Impresi Pertama

Suara pak supir bus yang sedang mengendarai bus, membangunkan saya dari mimpi indah saya. Saya membuka tirai jendela bus, dan melihat gedung-gedung tinggi pencakar langit di luar sana. Nampaknya pak supir memberi tahu, kalau sesaat lagi bus akan sampai di stasiun Tokyo, destinasi utama bus yang saya tumpangi. Setelah melewati perjalanan selama 6 jam, mulai pukul 12.00 waktu Kyoto, saya akhirnya sampai dan bangun di kota yang saya impikan selama ini, Tokyo.

Saya tiba di Tokyo, namun tidak memiliki ide akan kemana, dan menginap dimana. Saya benar-benar bingung pagi itu. Ada cerita yang terlewatkan saat saya berada di Kyoto, yang membuat saya harus kehilangan banyak uang. Walhasil, uang saya di Tokyo menipis. Saya membatalkan menginap di hostel yang sudah saya pesan sebelumnya, dan memutuskan akan menginap di warnet, seperti yang dilakukan salah satu travelblogger yang sudah berulang kali ke Jepang itu, (sebut saja inisialnya Fahmi), Tapi karena menginap di warnet biayanya dihitung per jam, maka untuk lebih menghemat, saya memutuskan check in menjelang waktu tidur saja. Jadilah tas yang berat ini saya bawa kemana-mana -_-

Senso-Ji Temple

Masih pagi, belum mandi pula. Saya memutuskan mengunjungi Senso-Ji Temple, yang terletak di Asakusa. Dari Stasiun Tokyo saya pindah satu stasiun menggunakan JR line, lalu ke Asakusa dari stasiun tersebut menggunakan Subway line. Apa bedanya JR dengan Subway ? JR lebih simpelnya kereta di atas tanah, sedangkan subway di bawah tanah, udah itu aja.

Cuaca di Tokyo berbeda saat saya berkunjung ke Kyoto. Kalau tidak mendung ya hujan. Ada baiknya juga, setidaknya tidak sepanas saat di Kyoto. Cuaca saat di Kuil Senso-Ji gerimis, namun lebih banyak mendungnya. Saya mengeksplor sedikit, mengambil gambar, lalu mencari makanan halal. Di sekitaran kuil ada kedai ramen halal, bernama Naritaya Halal. Sayangnya saat itu kedainya lagi tutup. Saya mencoba kedai lain, berharap kedai tersebut mampu menyediakan makanan halal buat saya, dengan modal selembaran kertas berisikan daftar bahan makana yang tidak diperbolehkan bagi muslim, lengkap dengan gambar dan bahasa Jepang. Namun hasilnya nihil.

Tokyo mendung

Saya kembali ke kuil Senso-Ji, berjalan santai sepanjang jalan kaminarimon. Ada banyak sekali pedagang yang menjajakkan souvenir dan street food, namun masih meragukan. Karena cuaca sedang mendung, saya memutuskan kembali ke stasiun Asakusa. Belum sempat sampai ke stasiun, saya menemukan kedai makanan halal khas Turki. Saya pesan Kebab + Nasi, Alhamdulillah, puas.

Setelah ke Asakusa, saya kembali bingung akan kemana. Rasa-rasanya Tokyo ini tidak begitu ramah buat saya. Mood saya rusak karena salah beli tiket bus, yang mestinya Cuma 1000-2000 yen, malah kena 10.000 yen. Bayangkan, tiket bus saja, ngabisin duit sejuta. Lebih murah tiket saya dari KL ke Osaka deng. Oke, sudah dulu curhatnya. Dari Asakusa, saya memutuskan ke Shibuya. Salah satu tempat yang ingin saya kunjungi di Tokyo adalah Shibuya Crossing. Sebenarnya, rencana saya ke Shibuya sore nanti, tapi saya memutuskan untuk ceklok dulu.

Shibuya
Shibuya

Suasana Shibuya Crossing memang magic. Ribuan bahkan puluhan ribu orang menyebrang setiap lampu lalin buat pejalan kaki berwarna hijau. Semuanya dari segala penjuru. Papan-papan iklan yang menghiasi setiap gedung pencakar langit lebih magic lagi. Finally, Tokyo yang selama ini saya impikan ada di depan mata. Selain Shibuya Crossing, ada patung Hachiko di sekitar perempatan. Salah satu spot yang sangat populer. Saking populernya, orang-orang harus antri, hanya untuk berfoto bersama patung Anjing, yang diceritakan sangat setia kepada majikannya ini.

Bencana datang, ketika daya hengpon saya mulai menipis. Harus ngecas dimana ini?, saya mulai panik. Mengingat handphone saya termasuk nyawa saya selama disini. saya di sekitaran Shibuya Crossing mencari tempat buat ngecas hp. Ada Starbucks. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, di Starbucks ada chargeran. Bolehlah, dengan modal segelas kopi. Inimah bukan menggembel namanya, tapi ngehedon di Tokyo.

Shinjuku

Setelah terlunta-lunta di Shibuya dengan tas yang lumayan berat, saya beralih ke Shinjuku, buat Cek Lokasi Warnet (Café-Manga) tempat saya akan menginap nanti malam. Ternyata, kawasan yang saya tuju berada di Kabuki-Cho. Sebuah jalan di Shinjuku yang dikenal dengan red light district. Sebuah kawasan yang tidak lepas dari image negative, karena biasanya kawasan tersebut dikenal sebagai kawasan hiburan malam, bahkan lebih parah erat kaitannnya dengan kawasan prostitusi. Apalagi, Kabuki-Cho ini juga dikenal sebagai tempat mangkalnya para Yakuza. Sereem. Tapi saat itu, saya belum tahu kalau ternyata kawasan Kabuki-Cho ini ternyata seperti itu. Jadi saya santai-santai saja.

Warnet yang akan saya tempati menginap sudah dapat, saya beralih ke Harajuku. Sebuah kawasan di Tokyo yang terkenal sebagai tempat nongkrongnya para pemuda-pemudi dengan style yang nyentrik. Rambut warna-warni, Pakaian antimainstream, riasan wajah segala rupa. Masih dengan backpack saya yang berat, saya menyusuri Takeshita Street yang dibanjiri wisatawan. Sayangnya tidak satupun saya mendapati cosplayer dengan Harajuku Style berseliweran. Oke saya akhirnya memutuskan pulang dengan kecewa.

Takeshita Street
Takeshita Street

Menjelang magrib, saya kembali ke Shibuya. Karena memang saya ingin menikmati suasana kawasan ini sampai malam. Menunggu lampu-lampu neon itu menyala. Karena saat itulah, nuansa Magis dari kawasan ini akan lebih terasa.

* * *

Setelah puas dengan atmosfir Shibuya yang magis. Saya memutuskan beralih ke Shinjuku, menunggu waktu menunjukkan pukul 9 malam. Entah itu dengan duduk santai, jalan di sekitar atau kegiatan lainnya, asal tidak jauh dari warnet, karena daya handphone saya sudah habis, takut tersesat. Dan pukul 9 akhirnya tiba. Saya buru-buru check in. mendapatkan bilik yang lumayan luas untuk berbaring. FYI, Warnet atau Café-Manga di Jepang memang sudah lumrah digunakan untuk menginap karena jumlah pekerja yang tidak mampu membayar biasa kontrakan apartemen juga lumayan banyak. Jadilah, warnet-warnet di Jepang menyediakan fasilitas bilik yang nyaman dan dapat digunakan untuk tiduran, sambil online.

Shibuya malam hari

Sepanjang hari tanpa tempat untuk kembali. Berjalan tak tentu arah. Begitulah kiranya pengalaman saya di hari pertama di kota Tokyo. Duduk di pinggir jalan hanya untuk mengistirahatkan punggung dari tas yang berat. Hari itu betul-betul melelahkan. Sambutan Tokyo yang kurang ramah ini tidak membuat saya kapok untuk kembali

13 comments on “Tokyo : Impresi Pertama

  1. Hendi Setiyanto

    plesiran ke jepang memang katanya ga murah, apalagi ke kota tokyo, salah satu kota termahal di dunia, tapi kapan lagi ya bisa berkunjung ke destinasi impian banyak orang. besok 2020 datang lagi sekalian nonton pembukaan olimpiade musim panasnya pasti mantap!!!!

    Disukai oleh 1 orang

  2. Wah, sudah sampai di Tokyo juga. Kurang ramah mungkin karena kurang persiapan kali ya. 😀 😀 Kalo harga, udah pasti gak ramahlah yah, Tokyo buat modal pas2an. *sambil ngaca nulisnya*

    Disukai oleh 1 orang

  3. Justru Tokyo memberikan kesan manis ke saya 🙂

    Disukai oleh 1 orang

  4. kayaknya sumpek sama orang2 yaa. itu kapan lengangnya?
    btw foto hachiko dan penampakan warnetnya ngga ada ya? hehe kepo….

    Disukai oleh 1 orang

  5. Buset… brarti luntang lantung ga jelas gtu ya seharian.. 😅
    Pengalaman yg berharga mas..

    Disukai oleh 1 orang

  6. Seru sekali ya Tokyo. Akhir 2018 lalu saya malah ikut rombongan yang ke Okinawa dan Kyushu Utara saja. Padahal itu kali pertama saya ke Jepang. Jadi ingin ke Jepang lagi tapi ke kota-kota besar dan terkenalnya seperti Tokyo.

    Suka

Tinggalkan Balasan ke senangsenangyuks Batalkan balasan